Konversi Gabah Menjadi Beras 62,74 Persen, Tahukah Anda Darimana Angka Itu Berasal?

Oleh Iswadi Suhari *)

Jika Anda ditanya arti konversi gabah kering giling (GKG) menjadi beras  sebesar 62,74 persen, Anda pasti akan dengan mudah menjawab bahwa arti dari angka tersebut adalah jika kita menggiling gabah sebanyak satu kuintal maka kita akan memperoleh beras sebanyak 62,74 kg. Tapi bagaimana jika pertanyaannya adalah darimanakah angka 62,74 persen tersebut berasal? Mungkin tidak semua orang dapat dengan mudah menjawabnya.

Angka konversi GKG menjadi beras sebesar 62,74 persen yang sering disebut juga angka rendemen penggilingan lapangan merupakan angka yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian. Angka tersebut merupakan hasil dari Survei Susut Panen dan Pasca Panen Gabah/Beras yang dilakukan oleh BPS dan Kementerian Pertanian tahun 2005 hingga 2007 yang diintegrasikan. Angka 62,74 persen selain digunakan untuk memperkirakan beras yang akan diperoleh juga digunakan untuk menghitung susut penggilingan.

Rendemen laboratorium merupakan rendemen yang diperoleh dari percobaan penggilingan teliti di laboratorium yang diasumsikan tidak ada fisik beras yang hilang. Pengurangan bobot dari GKG menjadi beras diasumsikan murni dari berkurangnya kadar air dan kulit gabah yang terpisah. Rendemen laboratorium tersebut kemudian dibandingkan dengan rendemen lapangan yaitu rendemen penggilingan yang biasa dilakukan oleh penggilingan pada umumnya. Rendemen lapangan pada umumnya lebih rendah dari rendemen laboratorium akibat ada bagian fisik beras yang tercecer pada proses penggilingan. Selisih rendemen laboratorium dengan rendemen lapang inilah yang disebut susut penggilingan. Istilah rendemen sendiri mengandung pengertian persentase berat hasil penggilingan terhadap berat gabah (GKG) yang digiling.

Hasil Survei Susut Panen dan Pasca Panen Gabah/Beras tahun 2005-2007  bahwa rendemen laboratorium sebesar 65,99 persen. Dengan demikian dapat dihitung susut penggilingan sebesar 3,25 persen. Artinya ketika penggilingan dilakukan ada potensi beras yang hilang sebanyak 3,25 persen.

Sebenarnya angka konversi GKG ke beras 62,74 persen baru resmi digunakan mulai tahun 2009. Sebelumnya angka yang digunakan adalah 65,00 persen yang merupakan hasil Survei  Susut Pasca Panen 1987 dan Survei Gabah-Beras tahun 1988. Kemudian angka tersebut berubah menjadi 63,20 persen yang merupakan hasil Survei Susut Pasca Panen 1995 dan Survei Gabah-Beras 1996.

Selain konversi GKG ke beras, angka konversi lain yang cukup penting adalah angka konversi Gabah Kering Panen (GKP) ke GKG sebesar 86,02 persen. Artinya jika kita melakukan pengeringan 1 kuintal GKP maka akan  diperoleh GKG sebanyak 86,02 kg. Angka konversi ini diperoleh dengan mengurangi 100 persen dengan dua komponen pengurang bobot akibat pengeringan yaitu pengurangan kadar air sebesar 10,71 persen dan kehilangan secara fisik sebesar 3,27 persen. Sebelum tahun 2009, angka konversi yang digunakan adalah 86,59 persen yang kemudian direvisi dengan survei serupa tahun 1995/1996 menjadi 86,51 persen.

Perlu hati-hati

Ketika kita menggunakan angka konversi ini untuk menganalisis ketersediaan beras maka perlu berhati-hati. Angka ini tidak dapat serta merta digunakan untuk mengkonversikan GKG yang diproduksi petani menjadi beras yang akan tersedia untuk konsumsi pangan. Angka tersebut hanya dapat digunakan untuk memperkirakan banyaknya GKG yang akan diperoleh jika dilakukan pengeringan dan banyaknya beras jika dilakukan penggilingan. Akan tetapi perlu diingat bahwa padi yang diproduksi petani tidak seratus persen menjadi bahan makanan. Sebagian tercecer pada saat pengangkutan dan penyimpanan baik gabah maupun beras. Sebagian gabah dan beras juga tidak menjadi bahan pangan tetapi digunakan untuk benih, pakan ternak, bahan baku industri makanan, dan bahan baku industri non makanan.

Hal lain yang perlu diketahui adalah survei yang dilakukan BPS dan Kementerian Pertanian pada tahun 2005 hingga tahun 2007 belum mengakomodir adanya pengaruh musim sebagai akibat kendala pendanaan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh pada variasi data yang diperoleh. Kadar air padi pada musim basah tentunya akan sangat berbeda dengan kadar air padi pada musim kering.  Selain susut bobot atau kehilangan secara fisik sebenarnya ada kehilangan lain yang tak kalah pentingya yaitu susut kualitas. Sejauh ini survei besar yang ditujukan untuk mengukur susut kualitas belum pernah dilakukan.

*) Penulis adalah Kepala Seksi Evaluasi dan Pelaporan Statistik Tanaman Pangan, Badan Pusat Statistik, mendapat gelar Master of Natural Resource Economics dari the University of Queensland, Australia.

Padi Emas untuk Tingkatkan Kesehatan Mata

Apa itu Padi Emas dan apa manfaatnya?

Padi Emas (Golden Rice) adalah beras berwarna kekuningan atau keemasan karena adanya akumulasi unsur beta karoten pada endospermnya. Beras tidak mengandung vitamin A namun kandungan beta karotennya akan diubah menjadi vitamin A di dalam tubuh manusia. Dengan adanya Padi Emas ini, defisiensi vitamin A yang menyebabkan rabun senja sampai buta total dan pertumbuhan yang tidak normal diharapkan dapat dikurangi.

Padi Emas mewakili harapan orang-orang yang paling membutuhkan. Di seluruh dunia, 125 juta anak – terutama mereka yang berada di negara-negara sedang berkembang – menderita kekurangan vitamin A yang mengakibatkan kebutaan dan kematian prematur. Satu juta orang lainnya meninggal setiap tahun karena kekurangan vitamin A dan kekurangan gizi.

Padi Emas dengan beta karoten dan ditambah zat besi dapat memiliki dampak nyata dalam mengurangi kekurangan gizi dan kematian prematur.

Kapan padi emas dapat ditanam di lahan petani?

Varietas Padi Emas terbaru yang telah dikembangkan oleh swasta di Amerika kurang cocok untuk dikembangkan di Asia. International Rice Research Institute (IRRI) dan anggota jaringan kerja Padi Emas lainnya (India, Filipina, Cina, Bangladesh, Vietnam dan Indonesia) telah mulai melakukan pemuliaan untuk mendapatkan varietas yang cocok untuk Asia. Pengujian di lahan petani dimulai pada tahun 2008. Setelah melalui berbagai uji lapangan yang lebih luas serta memenuhi persyaratan keselamatan hayati (biosafety), varietas yang cocok untuk Asia ini dilepas untuk ditanam secara luas. Proses ini memerlukan waktu beberapa tahun.

Akankah Padi Emas lebih mahal dari padi biasa

Teknologi yang digunakan dalam pengembangan Padi Emas diberikan secara gratis oleh para penciptanya (Ingo Potrylcus, ETH-Zurich, dan Peter Beyer dari Univ Freiburg). Mereka menggunakan donasi untuk ijin hak intelektual dari beberapa perusahaan swasta. Dengan demikian, tidak akan ada biaya ekstra untuk memperoleh benih tersebut dari IRRI dan menggunakannya untuk tujuan lokal.

Kemajuan perakitan Padi Emas di Indonesia

HaKI Padi Emas dibeli oleh Melinda dan Bill Gate Foundation dari Syngenta, kemudian diberikan kepadaIRRI untuk diadaptasi dan dikembangkan di Negara Filipina, Bangladesh dan Vietnam.

IRRI memberikan dua hasil persilangan kepada Indonesia yaitu persilangan antara IR64 dengan Kaybonnet GR2 yang saat ini sudah sampai generasi F5 (BC3F5) dan persilangan antara Ciherang dengan Kaybonnet GR2 saat ini baru sampai generasi F1 (BC2F1). Apabila tidak ada halangan hasil persilangan dengan IR64 akan dilepas tahun 2015 dan yang berasal dari persilangan dengan Ciherang baru bisa dilepas tahun 2016, tentunya setelah lolos uji aman pangan dan aman lingkungan.

Wakil Menteri Pertanian Dr. Rusman Heriawan, dalam kunjungannya ke Kebun Percobaan (KP) Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Jumat (8/3/2013), antusias mendengar penjelasan mengenai kemajuan perakitan padi emas (golden rice) yang adaptif dan sesuai dengan selera konsumen di Indonesia.

Wamentan sangat mendorong pengembangan padi emas di Indonesia, karena membayangkan dampaknya terhadap kesehatan mata dan mental pertumbuhan masyarakat. “Mata yang sehat dan pertumbuhan normal sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan bangsa untuk menghadapi persaingan karena pasar bebas regional/global dan perubahan iklim,” ujar Wamentan.

Teknologi Perbaikan Jeruk tanpa Biji

Oleh : Chaireni Martasari (Peneliti Balitjestro)

Hampir semua orang baik tua maupun muda mengenal dan mengonsumsi buah jeruk. Jeruk (Citrus Sp.) memang merupakan salah satu komoditi buah–buahan terpenting setelah pisang dan mangga, dan termasuk buah yang digemari untuk dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan. Bahkan jeruk juga merupakan komoditas buah yang cukup menguntungkan, dimana mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan menumbuhkembangkan perekonomian regional serta peningkatan pendapatan nasional. 

Jika konsumen ditanya kriteria buah jeruk yang mereka sukai, jawaban yang akan kita peroleh tidak akan jauh dari rasa manis, tekstur lembut, harum, kadar jus tinggi dan jika bisa tanpa biji. Hal inilah yang membuat buah jeruk impor yang banyak dijumpai di semua tingkat pasar nasional lebih laris daripada jenis jeruk lokal, walaupun jeruk impor tersebut sering tidak lagi segar. Pada kenyataannya Indonesia memiliki banyak sekali jenis jeruk. Tiga diantaranya merupakan jeruk komersial yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat sebagai jeruk konsumsi segar yaitu jeruk Siam, jeruk Keprok dan Pamelo.

Ketiga jenis jeruk tersebut memiliki potensi produktivitas tinggi karena kemampuan adaptasinya yang baik terhadap beberapa kondisi iklim di Indonesia. Namun ketiga jenis jeruk tersebut juga memiliki kualitas yang kurang jika dibandingkan dengan jeruk impor seperti jumlah biji yang cenderung banyak, kulit yang terkadang sulit dikupas dan warna buah kurang menarik, serta tidak tahan simpan dalam waktu yang lebih dari 2 minggu. Hal ini mengakibatkan jeruk-jeruk tersebut belum menjadi komoditas primadona pada negeri sendiri. Otomatis keadaan ini akan menjadi bumerang bagi agribisnis perjerukan di Indonesia apabila upaya perbaikan varietas jeruk baik kualitas dan hasil tidak segera dilakukan. 

Perbaikan kualitas dapat dilakukan secara genetik melalui pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman merupakan penerapan suatu metoda untuk mengeksploitasi potensi genetik tanaman. Tujuan pemuliaan tanaman adalah memaksimumkan hasil pada suatu kondisi lingkungan tertentu dalam suatu usaha budidaya pertanian dengan meminimalkan keluaran melalui peningkatan hasil, perbaikan kualitas hasil, ketahanan terhadap kendala biotik dan abiotik, pengubahan daur hidup, modifikasi keragaan tanaman serta pengadaptasian pada suatu cara pembudidayaan. 
 
METODE PEMULIAAN TANAMAN JERUK TANPA BIJI

Banyak pakar membagi pemuliaan tanaman berdasarkan metode yang digunakan menjadi 2 yaitu pemuliaan konvensional dan non konvensional. Metode persilangan seksual merupakan bagian pemuliaan konvensional dan metode mutasi dan bioteknologi merupakan bagian pemuliaan non konvensional. Kedua metode tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Namun dalam pelaksanaannya pada program pemuliaan jeruk tanpa biji kedua metode tersebut dapat dipadukan untuk memperoleh hasil terbaik dan efisiensi waktu. 

Kegiatan perbaikan varietas jeruk telah dimulai oleh Balitjestro dari tahun 2003 dengan 3 metode pemuliaan yaitu: 
Perbaikan sifat utama jeruk (Seedless) melalui Induksi Mutasi Radiasi
Persilangan konvensional dengan embrio rescue
Peningkatan keragaman genetik melalui Fusi Protoplasma dan penggandaan kromosom (colchiploid) yang diseleksi secara individu

1. Perbaikan sifat utama jeruk (Seedless) melalui Induksi Mutasi Radiasi 

Mutasi adalah suatu proses di mana suatu gen mengalami perubahan bahan struktur genetik baik gen tunggal atau sejumlah gen atau susunan kromosom yang terjadi secara spontan maupun secara buatan. Mutasi dibedakan menjadi dua yaitu mutasi spontan dan mutasi buatan. Mutasi spontan yaitu mutasi yang disebabkan oleh alam dan mutasi buatan merupakan mutasi karena kesengajaan perlakuan oleh manusia. Mutasi buatan dipertimbangkan sebagai sumber keragaman genetik untuk perbaikan buah, self compatibility, dan ketahanan terhadap hama penyakit.

Pemuliaan tanaman melalui mutasi telah banyak dilakukan adalah pada berbagai jenis buah-buahan termasuk jeruk. Sejak tahun 2002, Balitjestro telah melaksanakan program jeruk tanpa biji melalui pemuliaan mutasi. Tahap demi tahap dari pemuliaan mutasi ini telah dilalui. Tahapan yang pertama ialah sejumlah mata tunas jeruk Keprok dan Pamelo di-radiasi dengan sinar Gamma. Penyinaran menggunakan dosis kekuatan 20, 40 dan 60 gray yang dilakukan di BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional).

Mata tunas yang telah di radiasi ditempel pada batang bawah jenis JC (Japansche Citroen). Pada tahap ini tanaman disebut M1V1. Kemudian tanaman M1V1 ini di seleksi berdasarkan kemampuan pertumbuhan hingga kualitas buah jeruk dan jumlah biji. Seleksi dilakukan dengan mengamati tiap cabang yang tumbuh dan dikelompokkan sesuai tingkat parameter seleksinya.

Mata tunas dari cabang tanaman jeruk yang terseleksi disambung kembali dengan batang bawah JC. Pada tahap ini, mata tunas yang tumbuh disebut M1V2. Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui apakah karakter yang ditemukan pada saat M1V1 merupakan sifat yang menurun atau hanya chimera saja. Pada tahap ini seleksi dilakukan berdasarkan analisa secara sitogenetika dan genetik yaitu untuk mengetahui apakah perubahan yang terjadi terdapat pada lapisan sel, organ atau DNA dari masing-masing tanaman.

Berdasarkan pengamatan terhadap karakter buah dan rasa pada tanaman M1V2, saat ini telah terseleksi 18 aksesi kandidat seedless yang terdiri dari 14 tanaman mutan keprok Soe, 1 tanaman mutan Batu 55 dan 3 tanaman mutan pamelo Nambangan. Dari 18 aksesi tersebut, 5 aksesi diantaranya merupakan kandidat seedless yang telah panen sebanyak 3 kali dan sifat seedlesnya termasuk stabil. Untuk mengetahui daya hasil dan kualitas buah secara optimal, saat ini beberapa kandidat seedless tersebut telah ditanam di lapang untuk diobservasi lebih lanjut. Harapnnya pada tahun 2011 beberapa dari kandidat seedless tersebut telah bisa dilepas sebagai varietas baru dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara umum. 

2. Persilangan konvensional dengan kultur embrio 

Persilangan merupakan suatu cara untuk memindahkan sifat yang diinginkan dari tetua donor ke tetua penerimanya. Karena persilangan dapat meningkatkan keragaman genetik, maka persilangan menjadi komponen yang sangat penting dalam pemuliaan dan dasar dari perbaikan suatu organisme. Persilangan dimulai dengan pemilihan tetua berdasarkan sifat yang akan dimuliakan, selanjutnya diikuti dengan pengambilan tepung sari dari bunga jantan (emaskulasi). Meskipun persilangan merupakan tahapan yang sangat penting dalam pemuliaan, persilangan bukan merupakan pekerjaan yang sederhana karena setiap jenis tanaman secara alami mempunyai cara sendiri dalam penyerbukan dan adanya kendala–kendala alami dalam persilangan. 

Pada tanaman jeruk, kendala yang biasa dihadapi adalah sebagai berikut: 
Tingginya kerontokan buah (jeruk manis rontok sekitar 15% pada fase kuncup, 41% pada fase pertumbuhan buah muda fase selanjutnya sekitar 96–99%.
Rendahnya kemampuan pembentukan buah, seperti pada jeruk lemon hanya 45–50% dari bunga yang ada terbentuk menjadi buah. 
Viabilitas tepung sari rendah sampai nol seperti pada jenis jeruk manis ‘WNO’. Sehingga embrio yang dihasilkan dari persilangan dapat mengalami keguguran. 

Beberapa kendala yang ditemui pada tanaman jeruk ini, menyebabkan keberhasilan persilangan konvensional menjadi rendah karena populasi F1 (turunannya) sangat sedikit. Namun dengan aplikasi kultur embrio setelah 90 hari persilangan, dapat mengatasi kelemahan pada persilangan konvensional.

Kultur embrio merupakan salah satu teknologi somaklonal yang diaplikasi paling awal dalam pemuliaan tanaman dan telah digunakan dalam sejumlah keadaan untuk memperoleh hibrida intergenerik atau interspesifik. Dengan kultur embrio, suatu embrio dipisahkan dari biji yang sedang berkembang beberapa hari setelah pembuahan dan dibiakkan dalam medium cair atau padat dalam lingkungan yang terkendali untuk menghasilkan bibit tanaman yang dapat menghasilkan tanaman dewasa 

Metode pemuliaan seperti diatas,persilangan yang diikuti oleh kultur embrio, telah dilakukan oleh Balitjestro sejak tahun 2006. Jenis jeruk yang disilangkan adalah Jeruk Siam X Jeruk Satsuma dan Jeruk Siam X Jeruk Manis Tujuan dari persilangan tersebut adalah diperolehnya jeruk unggul baru dengan sifat seedless, mudah dikupas dan memiliki warna kulit kuning. Saat ini Balitjestro telah memiliki 400 tanaman hasil persilangan-persilangan tersebut dengan umur 4 tahun. Sebagian tanaman saat ini telah berbuah namun belum matang, sehingga proses seleksi sesuai dengan sifat yang diinginkan belum dapat dilakukan. 

Pemuliaan tanaman jeruk melalui persilangan telah banyak dilakukan di dunia dan telah menghasilkan banyak sekali varietas unggul seperti ORLANDO dan MINNEOLA [Dancy tangerine dan Duncan grapefruit]; PAGE [Minneola x Clementine]; ROBINSON, LEE, OSCEOLA dan NOVA [Orlando tangerine x Clementine mandarin]; MURCOTT tangor [Citrus reticulata Blanco x Citrus sinensis (L.) Osb.]; SUNBURST [Robinson x Osceola]; FALLGLO [Bower x Temple]; AMBERSWEET [Clementine x Orlando]; FAIRCHILD [Clementine x Orlando tangelo]; KIYOMI [‘Miyagawa Wase’ satsuma x ‘Trovita’]; AMAKUSA mandarin [Kiyomi x Okitsu wase14]; ‘SWEET SPRING’ [‘Ueda’ satsuma x ‘Hassaku’]; WILKING [Willow Leaf x King]; KINEY [King x Duncan]; GOLD NUGGET [Wilking x Kiney]; ENCORE [King mandarin x Willow Leaf mandarin]; MIKAN NORIN 9 [Encore x Nakano 3 Ponkan]; Citranges [C. sinensis x Poncirus trifoliata); Citrumelos (C. paradisi x P. trifoliata). 

3. Peningkatan keragaman genetik melalui Fusi Protoplasma dan penggandaan kromosom (colchiploid) yang diseleksi secara individu 

Kegiatan pemuliaan tidak akan dapat bekerja jika tidak ada keragaman genetik. Keragaman genetik tersebut dapat diperoleh melalui plasma nutfah yang tersedia ataupun diciptakan melalui berbagai teknik. Dua teknik yang biasa digunakan oleh para pemulia tanaman jeruk untuk tujuan diatas adalah fusi protoplasma dan penggandaan kromosom (colchiploid). Tanaman yang normal bersifat diploid (jumlah kromosom 2N), sedangkan tanaman yang tingkat kromosomnya lebih dari 2N disebut sebagai poliploid. Kedua teknik tersebut dilakukan untuk menciptakan tanaman dengan tingkat ploidi (1 untai kromosom) lebih dari 2N. Harapannya adalah tanaman dengan kromosom diatas 2N dapat memiliki sifat seedless (3N) ataupun menjadi tetua untuk menghasilkan tanaman seedless (jika 4N dapat dikawinkan dengan 2N menghasilkan 3N; jika 6N dapat di haploidisasi jadi 3N). Bagaimana hal tersebut dapat terjadi?

Teknik fusi protoplama ialah penggabungan antara 2 genotip (masing-masing 2N) tanaman pada tingkat sel secara in vitro. Jika pencampuran sesuai dengan teori fusi protoplasma maka bisa diperoleh tanaman baru dengan tingkat ploidi lebih dari 2N. Untuk mengetahui tingkat ploidi setelah fusi dilakukan melalui pengamatan terhadap jumlah kromosom. Dan jika fusi telah berhasil, tanaman yang tumbuh akan memiliki kecenderung ukuran lebih besar, daunnya lebih tebal dan dapat mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap lingkungan. Untuk mengetahui sifat seedless dilakukan setelah tanaman berbuah. 

 Pada teknik kedua peningkatan ploidi dapat juga dilakukan dengan menggunakan senyawa colchisine. Colchisine ini sebetulnya adalah suatu senyawa yang berasal dari biji dan rhizoma dari Colchicum automnale. Senyawa ini bekerja dengan cara merusak pembentukan gelendong saat terjadi pembelahan sel sehingga kromosom-kromosom anakan tetap dalam sel yang sama. Dengan cara demikian maka terjadi duplikasi atau penggandaan kromosom sehingga ploidi tanaman dari 2N bisa menjadi 4N.

Pemanfaatan senyawa ini pada program jeruk tanpa biji yang telah dilakukan oleh Balitjestro dari tahun 2007, dimaksudkan untuk mendapatkan tanaman jeruk dengan ploidi 4N. Tanaman ini nantinya akan digunakan sebagai tetua persilangan dengan jenis jeruk normal diploid (2N). Sebagaimana sifat dari suatu metode persilangan, maka turunan pertamanya akan memiliki tingkat ploidi 3N dengan sifat tanpa biji.

Populasi tanaman jeruk hasil fusi protoplasma dan colchiploid di Balitjestro saat ini telah berumur 3 tahun. Sebagian tanaman telah mulai memasuki fase generatif (belajar berbuah). Pada tahun ini dan tahun-tahun ke depan diharapkan telah diketahui karakter dasar dari setiap tanaman untuk program jeruk tanpa biji selanjutnya.

PROSES SELEKSI PADA PEMULIAAN TANAMAN JERUK

Proses perbaikan kualitas jeruk dari awal hingga menghasilkan varietas jeruk unggul membutuhkan waktu yang cukup lama di bandingkan dengan tanaman semusim lainnya. Hal ini disebabkan proses seleksi yang harus dilewati selama program perbaikan/pemuliaan. Seleksi tanaman merupakan salah satu tahapan dalam pemuliaan tanaman yaitu dengan memilih sifat terbaik dari suatu populasi hasil pemuliaan. Pada komoditas jeruk, seleksi yang sering dilakukan adalah seleksi individu dimana seleksi ini merupakan seleksi awal terhadap karakter setiap individu tanaman. Dasar pemilihan dalam seleksi adalah penampilan morfologi tanaman dengan harapan sifat-sifat gen yang terkandung didalamnya merupakan sifat yang unggul.

Seleksi suatu sifat akan menghasilkan sifat-sifat yang berkolerasi positif dengan sifat yang diseleksi. Dalam rangka menghasilkan varietas jeruk tanpa biji, seleksi yang dilakukan lebih difokuskan kepada jumlah biji buah per tanaman. Seleksi kedua adalah terhadap rasa dari buah-buah tersebut. Seleksi tanaman buah hasil pemuliaan biasanya dilakukan secara bertahap disesuaikan pada setiap fase pertumbuhan tanaman seperti fase bibit, vegetatif dewasa dan fase generatif. Keberhasilan suatu kegiatan pemuliaan tanaman jeruk dikatakan berhasil jika seleksi di semua fase dapat dilakukan, bahkan seleksi pada fase generatif perlu dilakukan berkali-kali (± 5 kali) hingga sifat yang diinginkan tersebut stabil. Setelah sifat tersebut dinyatakan stabil, maka perbanyakan benih/bibit secara vegetatif baru dapat dilakukan.

(Sumber: http://balitjestro.litbang.deptan.go.id/id/599.html)

Teknologi Menurunkan Residu Pestisida di Lahan Pertanian

Dewasa ini pestisida sudah menjadi mentalitas petani, artinya ada atau tidak ada OPT di lapangan pestisida tetap digunakan. Ketika berjumpa dengan sekelompok orang petani yang sedang berkumpul istirahat saya mengajukan pertanyaan, berapa kali menyemprot pestisida dalam satu musim tanam padi?. Jawabnya beragam ada yang menjawab 4 kali, ada yang menjawab 3 kali dan bahkan ada yang menjawab 7 kali. Ketika pertanyaan saya ajukan kepada petani sayuran kacang panjang, jawabnnya sangat mengejutkan karena rata-rata mereka menjawab lebih dari 25 kali. Tentunya mereka memiliki alasan masing-masing terkait dengan penggunaan pestisida, namun gambaran tersebut setidaknya  mengingatkan kita betapa tingginya penggunan pestisida di tingkat petani.

Penggunan pestisida kimia merupakan sarana pengendalian OPT yang paling banyak digunakan oleh petani di Indonesia (95,29%) karena dianggap efektif, mudah digunakan dan secara ekonomi menguntungkan.Penggunaan pestisida yaang demikian dipastikan dapat mencemari lingkungan dan pada gilirannya dapat meninggalkan residu pestisida pada produk pertanian. Di lingkungan residu pestisida dapat mematikan makro dan mikro organisme serta menrusak keseimbangan alam. Sedangkan pada produk pertanian residu pestisida dapat mengganggu kesehatan manusia, seperti menurunnya sistem imun, gangguan fungsi ginjal dan hati, memacu pertumbuhan kanker, dan gangguan fungsi kerja syaraf.

Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh residu pestisida diperlukan teknologi yang dapat menurunkan sehingga konsentrasinya tidak berdampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Keberadaan cemaran residu pestisida di lingkungan dapat diturunkan dengan berbagai teknologi, seperti penggunaan arang aktif dan  penggunaan mikroba. Hasil penelitian Balai Penelitian Lingkungan Pertaniian, telah diperoleh teknologi yang dapat menurunkan residu pestisida di lingkungan:

1. Teknologi penggunaan arang aktif
Arang aktif (AA) dapat dibuat dari limbah pertanian seperti sekam padi, tongkol jagung, tempurung kelapa, dan cangkang /tempurung kelapa sawit yang berfungsi untuk menurunkan residu pestisida. Aplikasinya dapat dilakukan secara langsung ke tanah ataupun diformulasikan dengan pupuk urea sebagai pelapis (coating). AA sebagai pelapis urea selain dapat meningkatkan efisiensi nitrogen dari pupuk urea juga dapat berfungsi sebagai rumah dan sumber karbon bagi mikroba pendegradasi pestisida.

2. Penggunaan bahan organik (BO)
Penggunaan BO limbah pertanian seperti pupuk kandang (pukan) sapi dan ayam telah digunakan sejak lama terutama pada lahan sayuran dan lahan sawah tadah hujan. Sejak diberlakukannya subsidi pupuk organik, kedua pupuk ini semakin populer sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik pril dengan berbagai merk dagang.  Pemberian BO berupa pukan dan pril dapat menurunkan residu senyawa POPs, dan penambahan mikroba pada BO dapat meningkatkan persentase penurunan residu senyawa POPs. Pukan ayam + mikroba dapat menurunkan residu DDT sampai 81,6% ; sedangkan pemberian petroganik + mikroba dapat menurunkan residu heptaklor sampai 91,57%.

(Sumber: http://balingtan.litbang.deptan.go.id)

Cara Kalsik Mengusir Tikus

Oleh Dedi Nursyamsi, Syaiful Asikin, dan Destika Cahyana SP *)

Ini kisah petani rawa lebak di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, di masa silam. Mereka mengumpulkankulit jengkolPhitecellobiumlobatum dari ladang, pasar tradisional, atau dapur lalu menyebarkan di sawah. Dengan cara itu sawah bebas dari serangan tikus.

Itu teknik lama mengusir tikus yang digunakan turun-temurun petani di Tanah Banua. Dengan cara itu selama berabad-abad di masa silam tak pernah terjadi ledakan hama tikus. Sayang, seiring waktu cara sederhana itu tergusur oleh kehadiranrodentisida (racun tikus, red) sintetis yang praktis digunakan. Racun tikus cukup dicampur dengan umpan, lalu diletakkan di tempat yang biasa dilewati tikus.

Ironisnya—saat di pasaran racun tikus begitu banyak tersedia—petani generasi sekarang justeru takluk pada tikus. Musababnya, tikus tergolong mamalia pandai. Saat menemukan makanan, ia mencicip sedikit demi sedikit untuk mengetahui reaksi dalam tubuh. Bila tidak terjadi reaksi, mereka melanjutkan melahap makanan. Namun, bila tubuh merasa tidak beres, tikus akan menghindari makanan itu sehingga tetap selamat, bahkan menjadi resisten.

Menghindar

Tikus juga pintar mengenali umpan dalam perangkap. Bila seekor tikus terjebak dalam perangkap, tikus lain segera mengenali umpan—beserta perangkatnya—itu sebagai jebakan. Maka komunitas tikus tersebut bakal menghindari. Karena itu populasi tikus sulit ditekan. Apalagi tingkat kelahiran tikus tinggi. Satu induk dapat melahirkan 5—8 ekor anak. Pantas jumlah tikus di sawah kerap meledak meski perang racun tikus sudah dilakukan. Perang melawan tikus pun seperti tiada akhir.

Berbeda dengan racun atau perangkap, kulit jengkol tidak membunuh tikus. Aroma yang dikeluarkan kulit jengkol membuat tikus tidak betah. Maka ketika lubang tikus di sawah diletakkan kulit jengkol, mereka menghindar dari area tersebut. Cara lain dengan menghancurkan kulit jengkol, melarutkannya dalam air, lalu menyemprotkan larutan kulit jengkol ke lahan. Dengan cara itu tikus menghindar dari sawah.

Cara yang disebut terakhir memang lebih merepotkan bagi petani zaman sekarang. Namun, berdasarkan riset Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan, cara kedua justeru bermanfaat ganda. Pasalnya, larutan jengkol juga bersifat insektisida.  Pengamatan Balittra di lahan rawa dan sayuran yang disemprot larutan kulit jengkol berdosis 1,5—2,0   g/liter air terbebas dari tikus, hama penggerek batang padi, hama putih palsu, hama putih ulat grayak, ulat jengkal, ulat buah dan ulat plutella.

Padahal, area lain yang tidak menggunakan larutan jengkol terserang hama tikus, penggerek batang padi, ulat grayak, ulat jengkal, hama putih palsu, dan hama putih dengan tingkat kerusakan 35- 75%. Keampuhan kulit jengkol sebagai rodentisida dan insektisida setara senyawa kimia  antikoagulan berbahan aktif Bromadiolone.

Riset Terry  Pakki,  Muhammad Taufik, dan AM Adnan  Sulawesi Selatan—dari Jurusan Agroteknologi, Konsentrasi Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, dan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, menguatkan penelitian Balittra. Bedanya Terry dkk, bukan menguji daya racun kulit, tapi ekstrak biji jengkol terhadap perilaku mencit di laboratorium. Mereka menimbang biji jengkol tua sesuai perlakuan—200 g, 400 g, 600 g, dan 800 g—lalu  memblendernya dan menambah 1 liter air. Larutan lalu disaring dan diaplikasikan. Sebagai pembanding dibuat pula kontrol berupa air bening tanpa ekstrak jengkol.

Caranya, cairan biji jengkol diberikan pada wadah terbuka berdiameter 5,8 cm dan tinggi 11,4 cm masing-masing sebanyak 200 ml kemudian disimpan dalam kurungan tertutup bersama mencit. Kurungan berupa kotak kawat ukuran 27,4 cm x 16,5 cm x 13,2 cm. Kurungan uji ditutup rapat dengan plastik transparan agar bau jengkol bertahan.  Sementara mencit yang digunakan mencit betina dewasa—matang  seksual—berumur 3 bulan. Selama penelitian, mencit diberi pakan roti.

Hasilnya mencit yang diberikan ekstrak jengkol di dalam kurungan terlihat gelisah pada hari pertama dan berusaha menjauhi sumber bau. Pada hari ke-2 tikus mulai bergerak lambat, lalu pada hari ke-3 dan seterusnya mencit lebih banyak diam hingga mati. Mencit tercepat mati pada perlakuan 200 g dan 400 g yaitu pada hari ke-10 dan hari ke-13. Sementara perlakuan  600 g dan 800 g sampai hari ke-18. Pada 2 perlakuan yang disebut terakhir tikus, perut dan leher mencit membengkak. Sementara mencit kontrol gelisah pada hari pertama, tetapi berangsur normal pada hari kedua, lalu bertahan hidup hingga hari terakhir pengamatan.

Diduga biji jengkol mengandung zat racun ureum yang terlarut pada larutan. Ia lalu menguap dan meracuni tikus yang menghirupnya. Asam jengkolat juga dapat mengikat unsur belerang (sulfur) yang terlarut di air rendaman. Tikus yang diberi dosis ekstrak 200 g dan 400 g lebih cepat mati karena larutan lebih encer sehingga senyawa racun cepat menguap dan meracuni tikus. Sementara dosis 600 g dan 800 g lebih pekat sehingga sulit menguap. Namun, efek racun jengkol pada dosis pekat lebih ganas: leher dan perut tikus bengkak.

Sejumlah literatur juga menyebut senyawa kelompok alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin dan saponin pada jengkol ikut berperan sebagai rodentisida dan insektisida.  Paduan senyawa itu mengeluarkan aroma tajam, penghambat selera makan, dan toksik bagi hama dalam kadar tinggi. Pantas, istilah keracunan jengkol bukan monopoli hama. Jengkol pun meracuni manusia. Jengkol hanya aman dikonsumsi dalam jumlah banyak bila sudah diperam dalam tanah untuk menetralkan racun.

Bahan lain

Sejatinya bukan hanya kulit jengkol resep petani di masa silam untuk mengusir tikus atau hama lainnya. Beragam  biopestisida—berupa biorodentisida dan bioinsektisida—yang lain ialah bintaro (Cerbera odollam) dan mengkudu (pace; Morinda citrifolia). Caranya pun hampir mirip. Untuk mengusir tikus, cukup letakkan buah bintaro atau buah mengkudu di mulut lubang tikus atau di tempat yang biasa dilewatinya.

Bedanya buah bintaro digunakan yang muda, sementara mengkudu yang tua. Itu karena racun buah bintaro—cerberin—lebih banyak keluar dari buah muda. Sebaliknya aroma tajam mengkudu lebih kuat pada buah tua. Sementara untuk menghalau hama serangga, kedua tanaman tersebut—bagian daun dan buah—dapat diekstrak, lalu disemprotkan ke lahan yang terkena serangan. Pengalaman Balittra, bintaro dapat menghalau hama ulat grayak, hama plutella, ulat jengkal, penggrek batang, hama putih palsu dan hama putih. Pun mengkudu dapat mengusir ulat grayak dan  ulat sawi.

Pengetahuan masyarakat lokal di masa silam itu tentu modal berharga bagi dunia ilmiah. Ia dapat diuji efektifitasnya di masa kini. Bahkan terbuka juga peluang memodifikasi bahan-bahan itu menjadi formula yang lebih efektif.
*) Peneliti di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Cara Menghilangkan Bau Getah Karet

Cara Menghilangkan Bau Getah Karet
Untuk para petani yang berkebun karet pasti tidak asing dengan bau getah karet yang bau nya sangat menyengat, tapi sebenernya masalah itu bisa di atasi,, mungkin anda anda bingung cara menghilangkan bau kerat,, walaupun sedah di cuci tetap saja baunya tak kunjung hilang, apalagi di kasih parfum, pasti tambah parah,, walaupun parfum bermerk pun,, sebenernya bau getah karet bisa ilang sendiri, tapi harus menunggu sampai beberapa hari,, yang pasti pengen cepet ilang kan,, inilah trik trik untuk mengatasinya,

1. Sehabis memegang getah bersihkan getah yang menempel pada tangan atau pada bagian yang terkena getah karet,, yang lengket kalaupun susah di hilangkan, di coba memakai getah yang baru tapai yang dah beku pasti mudah,

2. Basuh dengan air hangat agar pori pori dalam kulit melebar, baru basuh dengan air dingin,

Kami menyarankan menggunakan "BIO VINEGAR" yang terbuat dari bahan cuka kayu. Sangat bagus untuk mereduksi bau getah karet. 

Caranya bisa langsung dibalurkan ke pohon karet. Atau dengan menjadikan Bio Vinegar sebagai sarana untuk membasuh tangan paska bekerja. 

Bio vinegar sangat aman. Karena bio vinegar dibuat tanpa campuran kimia.

Cara Mengusir Hama Keong Emas

Keong mas merusak tanaman dengan cara memarut jaringan tanaman dan memakannya, menyebabkan adanya bibit yang hilang per tanaman. Waktu kritis untuk mengendalikan serangan keong mas adalah pada saat 10 hst atau 21 hari setelah sebar benih (benih basah). 

Bila di sawah diketahui terdapat telur berwarna merah muda dan keong mas dengan berbagai ukuran serta warna, perlu dilakukan pengaturan air, keong mas menyenangi tempat-tempat yang digenangi air. 

Jika petani petani menanam dengan sistem tanam pindah maka pada 15 hari setelah tanam pindah, perlu dikeringkan kemudian digenangi lagi secara bergantian (flash flood = intermitten irrigation). Bila petani menanam dengan sistem tabela (tanam benih secara langsung), selama 21 hari setelah sebar benih sawah perlu dikeringkan kemudian digenangi secara bergantian.

Cara mengusir hama tanaman keong mas dengan menggunakan Pupuk Cair Organik cuka Kayu "Bio Vinegar"

Cara mengusir hama tikus

Tikus merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan dan dapat menyebabkan kerusakan besar apabila tikus menyerang pada saat primodia. Tikus akan memotong titik tumbuh atau memotong pangkal batang untuk memakan bulir gabah.
Tikus menyerang pada malam hari dan pada siang hari tikus bersembunyi di lubang pada tanggul irigasi, pematang sawah, pekarangan, semak atau gulma.

Penegendalian hama tikus dapat dilakukan secara terorganisir dalam skala luas oleh kelompok tani dengan pengelolaan lahan sampai menjelang panen dengan cara gropyokan. 

Cara mengatasi hama tikus dengan menggunakan pupuk cair organik Cuka Kayu. 

Hama Tanaman Padi Wereng Hijau

Hama wereng hijau merupakan hama penyebar (vector) virus tungro yang menyebabkan penyakit tungro. Fase pertumbuhan padi yang rentan serangan wereng hijau adalah saat fase persemaian sampai pembentukan anakan maksimum, yaitu umur ± 30 hari setelah tanam. Gejala kerusakan yang ditimbulkan adalah tanaman kerdil, anakan berkurang, daun berubah menjadi kuning sampai kuning oranye. 

Pencegahan dan pengendalian hama wereng hijau adalah dengan melakukan penanaman yang serempak dan menggunakan varietas yang tahan. sebagai tindakan pengendalian dapat dilakukan bersamaan dengan pengendalian hama wereng coklat, apabila serangan sudah mencapai ambang batas. 

Cara mengatasi hama wereng hijau ini, gunakan pupuk organik cair cuka kayu. 

Hama Padi Wereng Coklat

Hama ini dapat menyebabkan tanaman padi mati kering dan tampak seperti terbakar atau puso, serta dapat menularkan beberapa jenis penyakit. Tanaman padi yang rentan terserang wereng coklat adalah tanaman padi yang dipupuk dengan unsur N terlalu tinggi dan jarak tanam yang merupakan kondisi yang disenangi wereng coklat. 

Hama wereng coklat menyerang tanaman pada mulai dari pembibitan hingga fase masak susu. Gejala serangan adalah terdapatnya imago wereng coklat pada tanaman dan menghisap cairan tanaman pada pangkal batang, kemudian tanaman menjadi menguning dan mengering.